Industri Kecil dan Menengah (IKM) memainkan peran penting selama krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Disaat banyak perusahaan besar yang mengalami kesulitan, namun hal berbeda bagi IKM yang mampu bertahan dan bahkan membantu pemulihan ekonomi nasional lewat penyediaan lapangan kerja.
Dengan populasi sebanyak 4,19 juta unit usaha (med.2023) secara Nasional membuat IKM sangat berperan penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku merasa perlu untuk menopang IKM ditengah kondisi global yang tidak menentu. Hal ini dilakukan dengan senantiasa melakukan monitoring dan pendampingan bagi para pelaku IKM sehingga diharapkan dari proses ini ada sharing informasi dan didapati kondisi terkini dari pelaku IKM. Produk-produk dari IKM pun dapat bersaing dan memenuhi kebutuhan pasar, masyarakat sebagai konsumen akan merasa bangga dengan produk-produk yang mereka pakai atau konsumsi. Hal ini tentu selaras dengat semangat Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) dan BBWI tahun 2024 yang terus digalakan Pemerintah Provinsi Maluku melalui Dinas Perindustrian dan Perdangangan dan OPD lainnya.
Pada Kamis, 8 Agustus 2024, Kepada Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku,Marchelino Paliama bersama staf berkenaan melakukan monitoring di 2 IKM yakni IKM Myr’boy yang memproduksi wine pala dan IKM Rafaleristo yang memproduksi aneka rajutan. Dalam giat ini mahasiswa Praktek Kerja Lapangan (PKL) ikut dilibatkan untuk melihat proses produksi dari kedua IKM.
Wine pala oleh Myr’boy, sebuah brand yang didirikan oleh Max Patty di Negeri Liliboy,Kecamatan Leihitu Barat – Kabupaten Maluku Tengah pada tahun 2019. Sejarah dan Produksi Myr’boy berawal dari perkenalan Max Patty dengan seorang kenalan dari Belanda yang berprofesi sebagai tester wine di negara asalnya. Dengan bekal sharing informasi dan pengujian rasa wine, mereka tertarik untuk mencoba wine dari pala. Max kemudian memulai produksi wine dari limbah pala, khususnya kulit daging pala yang merupakan limbah dan sering dibuang warga.
Produksi wine disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku, dengan proses fermentasi yang memakan waktu sekitar satu bulan. Proses fermentasi menggunakan gula dan stater bakteri tertentu. Penyulingan dilakukan dalam satu kali proses selama sembilan jam, menghasilkan sekitar 25 botol wine jika fermentasi berjalan dengan baik.
Tentu bukanlah IKM jika tidak mengalami kendala, namun proses dan pengalaman menghasilkan inovasi bagi pak max untuk memodifikasi alat penyulingan sendiri. Suhu sangat mempengaruhi hasil penyulingan, terang Pak Max. Standar produk selalu diperhatikan walaupun masih menggunakan berbagai alat yang sederhana. Saat ini, Myr’boy masih mengusahakan untuk mengadakan Rumah Produksi sendiri dan bahan baku stater yang masih harus didatangkan dari luar Maluku bahkan luar Indonesia.
Myr’boy juga menguji coba bahan baku lain seperti gandaria dan pisang untuk dibuat wine. Wine yang dihasilkan memiliki kadar alkohol 40%, dengan variasi untuk fakturnasi antara 15-20%. Produk dijual secara langsung kepada konsumen untuk botol 300 ml dan botol 620 ml.
Meski tergolong Industri Kecil Menengah yang masih terus berkembang namun dengan berinovasi dan terus berusaha meningkatkan kualitas produknya, Max Patty berharap dapat membawa Myr’boy menjadi produk unggulan dari Maluku.
Berawal dari hobi merajut sejak duduk di bangku sekolah dasar, Ibu Enny Karina Tita berhasil mengembangkan hobinya menjadi sebuah usaha kerajinan tangan yang sukses dengan nama Rafaleristo Hand Made. Berdiri sejak tahun 2021, usaha ini berlokasi di Negeri Hatiwe, Kota Ambon dan telah menarik perhatian banyak pelanggan, terutama dari Papua.
Rafaleristo Hand Made memproduksi berbagai macam produk rajut seperti sandal, sepatu, sepatu sandal, pakaian anak, rok, sarung bantal, taplak meja, dan tas. Selain itu, Ibu Enny juga membuat jahitan penutup mimbar dan tempat persembahan. Produk-produk ini dibuat dari bahan baku yang beragam, termasuk tali rafia, kresek, kain tenun, karung goni, katun Bali, dan katun akrilik. Bahan baku benang rajut didatangkan dari Makassar dan Jawa.
Proses merajut dilakukan sendiri oleh Ibu Enny, yang mampu memproduksi 2-3 pasang sepatu sandal dalam sehari. Produk sepatu sandal menjadi yang paling diminati oleh pelanggan. Penjualan dilakukan secara online melalui WhatsApp dan Facebook, dengan pendapatan bulanan yang bisa mencapai lebih dari 1,5 juta rupiah.
Selain produk rajut, Ibu Enny juga mengombinasikan rajut dengan tenun untuk menghasilkan produk yang unik dan menarik. Kemasan produk menggunakan plastik biasa atau polos putih.
Ibu Enny pun sering dihadapkan dengan berbagi kendala dalam proses produksinya namun, hal ini tidak menghalangi semangatnya untuk terus berkreativitas. Dalam kesempatan giat ini Dinas Perindustrian dan Perdangan Provinsi Maluku menemukan beberapa kendala yang dihadapi Ibu Enny dan saat itu juga telah diberikan solusi terkait masalah yang dihadapi, terang Kepala Bidang Industri, Marchelino Paliama.
Dengan komitmen dan kreativitas yang tinggi, Ibu Enny Karina Tita telah membuktikan bahwa hobi bisa menjadi peluang usaha yang menjanjikan. (Hyt)